Review Buku Anak Rantau dari Ahmad Fuadi

Pada dasarnya kita semua ini adalah anak rantau, kita semua tengah merantau di dunia ini, dunia milik-Nya. Belajar, mencari bekal, untuk kembali ke kampung halaman. Kampung halaman-Nya.

tonton versi youtubenya:


Buku ini untuk mereka yang merasa di tinggalkan, merasa terbuang, mereka yang menginginkan kesempatan kedua, mereka yang mendendam dan mereka yang perlu memaafkan. Untuk orang tua dan untuk anak yang saling mencintai, tapi sulit untuk mengungkapkan. Untuk sahabat, untuk diri kita sendiri mempersiapkan dan memperkuat bekal kita.

Anak Rantau adalah karya dari Ahmad Fuadi, yang terkenal dengan karya sebelumnya yaitu buku negeri 5 menara. Di terbitkan 3 Juli 2017. Kenapa akhirnya milih buku ini adalah, karena pertama saat ini sedang dalam perantauan juga jadi ingin cari kisah inspirasi yang relevan dengan keadaan saat ini, yang kedua adalah gue suka dengan covernya yang ternyata merupakan ilustrasi dari salah satu adegan di dalam cerita.

Menilik dari isi cerita, buku ini berbanding terbalik dengan apa yang gue awalnya pikirkan dimana dalam pikiran gue adalah seorang anak kampung atau luar kota yang merantau ke kota besar, kemudian jadi sukses lalu kembali ke kampung halaman. Tapi di buku ini, berbeda dari apa yang gue pikirkan karena ini sederhana yang dikisahkan adalah anak Jakarta yang di bawa ke kampung halaman untuk belajar.

Buku ini mengisahkan karakter utama kita Hepi, (fun fact, gue agak ga percaya ketika tau nama lengkapnya adalah donwori bihepi) anak remaja Jakarta yang kehilangan sosok ibunya sejak lahir, dan kurang mendapatkan perhatian juga dari Ayahnya yang sibuk, sehingga membentuk karakternya menjadi buruk. Konflik dimulai setelah Martiaz, ayah Hepi, mendapati Hepi yang tidak lulus kelas karena ia tidak mengisi lembar soalnya sama sekali.
Akhirnya Martiaz daripada memarahinya, ia malah memiliki ide untuk membawa Hepi ke kampung halamannya, dan meninggalkannya disana bersama Kakek dan Neneknya untuk belajar.

Jadi sepanjang buku ini kita akan dibawa untuk menikmati petualangan Hepi yang membawa rasa dendam dan sedih merasa dihianati oleh ayahnya sendiri, dan bersumpah ingin membuktikan pada ayahnya dengan mengumpulkan uang sendiri untuk bisa kembali ke Jakarta, sementara juga harus belajar bersama kakeknya, dan menjalani hidup dengan orang-orang, dan teman-teman baru di kampung Tanjung Durian, nama dari kampung halaman sang ayah, dan tentu saja ia juga harus bersekolah mengulang kelas disana. Di kampung inilah Hepi belajar, di alam Tanjung Durian dengan bara dendam dan pesan sang Ayah, alam adalah sumber pembelajaran tak terhingga.

“Alam semesta ini penuh kejutan. Coba kau amati dan renungkan. Ambil pelajaran dari semuanya. Itulah yang disebut orang-orang tua kita di Minang, alam takambang jadi guru. Alam terkembang jadikan guru.” (hal. 18)

Selain itu ada banyak konflik lain di sepanjang buku ini selain dari konflik Hepi. Konflik masa lalu yang melibatkan antara Martiaz dan ayahnya, Datuk. Datuk dengan kesalahan masa lalunya. Pandeka Luko dengan luka lamanya. Ada juga konflik kriminal yang terjadi di kampung Tanjung Durian.

Gue suka dengan runtunan dan alur cerita dalam buku ini dimana di bagian awal, cerita terlihat sederhana lebih kepada pengembangan karakter dan konflik yang masih sederhana yaitu seputar agama, seputar keluarga, jati diri. Yaitu Hepi harus belajar mengaji, belajar silat, dan terus berusaha bagaimana untuk mendapatkan uang. Sampai ia juga bergaul dengan para preman-preman, membantu di lapo, dan sebagainya. Dan mulai ke 3/4 menjelang akhir masuk ke petualangan yang semakin seru, kompleks dan tidak terduga, dan banyak plot twist yang terjadi. Penulisannya pun juga bagus, bahkan Ahmad Fuadi juga memasukan bahasa-bahasa minang ke dalamnya.

Buku ini punya unsur yang sangat lengkap. Ada unsur agama, adat, sejarah, pengetahuan, petualangan, persahabatan, keluarga, sampai dengan unsur berkehidupan. Melalui buku ini gue jadi sedikit suka sama Padang, dengan adat-adat dan pengetahuan tentang Minang yang dituliskan disini, seperti yang gue bilang di awal bahkan dituliskan juga beberapa percakapan dengan menggunakan bahasa minang lengkap dengan artinya. Disini kita bisa lihat bahwa adat Minang itu sangat identik dan memegang erat unsur agama, yang dalam buku ini menjadi konflik karena hilangnya unsur agama dalam berkehidupan di kampung Tanjung Durian.

Ada juga sedikit mengenai sejarah, yang entah fakta atau bukan mengenai Soekarno, mengenai prajurit yang dilatih oleh jepang yang dituturkan dari salah satu karakter yaitu Pandeka Luko, ini sangat menarik juga bagi gue. Dan tentu saja yg paling gue suka adalah petualangan detektif-detektifan antara geng Hepi, Attar, dan Zen, dan aksi heroik mereka.

Banyak sekali pesan yang bisa di ambil dari buku ini, salah satunya bagaimana peran orang tua sangat penting dalam pembentukan karakter. Hepi adalah orang yang pintar sebenarnya, nah karena kurangnya perhatian lah yang membuat ia menjadi bandel tak karuan, merasa tidak diperhatikan, karena pada dasarnya ia hanya ingin agar lebih diperhatikan.

Peran agama, apalagi, juga sama sangat pentingnya dalam berkehidupan. Bukan hanya dari agama, kita juga harus punya hati nurani yang kuat, tidak salah dalam bergaul, karena terlihat di buku juga walaupun sudah beragama tetap saja pergaulan bisa merusak. Intinya adalah “jika mengenal diri maka kamu akan mengenal Tuhan”. Jangan pernah merasa sedih ketika merasa di tinggalkan karena Tuhan tidak pernah meninggalkan.

Kita boleh ditinggalkan, tapi jangan mau merasa ditinggalkan. Kita boleh dibuang, tapi jangan merasa dibuang.

“Bagaimana sedih dan merasa terbuang itu melemahkan. Bagaimana terlalu berharap kepada manusia dan mahkluk itu mengecewakan. Jadi, kalau merasa ditinggalkan, jangan sedih. Kita akan selalu ditemani dan ditemukan oleh yang lebih penting dari semua ini. Resapkan ini: kita tidak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah pada kita yang membuang waktu. Kita tidak dibuang, kita yang merasa dibuang. Kita tidak ditinggalkan, kita yang merasa ditinggalkan. Ini hanya soal bagaimana kita memberi terjemah pada nasib kita.” (hal. 255)

Yang terakhir adalah bagaimana obat dari luka hati, mendendam, mengingat kesalahan masa lalu semuanya adalah dengan memaafkan.

merdekakan jiwa
merdekakan pikiran
dari penjajahan pribadi yang kita buat sendiri-sendiri
dari amarah dan dendam
maafkan, maafkan, maafkan
lalu mungkin lupakan
Pandeka Luko

Akhir dari buku ini sepertinya agak menggantung, ada beberapa yang sepertinya dibiarkan masih misteri, mungkinkah akan ada buku lanjutannya? Siapa yang tahu, kita tunggu saja.

Sekian untuk review buku ini, terima kasih para pembaca 😃