Disconnected

Listen to this post:


Sebulan lalu gue tantang diri gue sendiri untuk melepaskan diri dari social media selama sebulan. I made it. (Well I cheated tho, once). So gimana rasanya? apa efeknya setelah sebulan? dan kenapa gue ngelakuin itu?

Sebulan sebelumnya Iman Usman juga ngelakuin ini. Mungkin terus lo bakal mikir, “ah lo mah cuma ikut ikutan dia doang”. Nggak. Sama sekali nggak ada pikiran kaya gitu. Gue sebenernya udah kepikiran lama untuk ngelakuin ini, tapi emang ga pernah ada keberanian dan komitmen untuk ngelakuin ini. Pernah sekali gue coba untuk nggak gunain hp selama sehari, tapi yang ada temen gue sendiri malah ngehujat ngatain kasian gara gara jomblo ga ada yang ngechat. Well, namanya juga netizen.

So, setelah Iman Usman ngelakuin itu akhirnya gue merasa terdorong, dia juga give me a little push dengan balasan dia di komentar gue di postingannya. So I did it. I challenged myself.

First of all, kenapa gue ngelakuin ini? Simply, because of thing called addiction. Which leads to procrastination and other effect. Ya. Adiksi gue terhadap social media udah jadi jarum buat gue di kehidupan sehari-hari. Dan bukan cuma itu aja. Ada banyak hal dari sosial media itu ngerusak diri gue sendiri.

Efek yang gue maksudkan disini adalah yang gue udah sebutkan sebelumnya salah satunya procrastination, lalu kecemburuan sosial, social anxiety, narsicstisme, perasaan untuk selalu eksis, selalu update tentang apapun, siapapun, dan sebagainya itu gue alami. Makanya, gue pengen ngelakuin ini untuk setidaknya menguranginya lah.

Karena jujur ini berefek ke kehidupan sehari-hari gue. Saat kerja gue kadang suka nakal untuk liat-liat socmed, atau sebelum tidur ngecek timeline twitter, sampai gak sadar ternyata udah mau jam 3. Atau lo mungkin juga pernah ngerasain atau alamin sendiri, kaya tiap beberapa menit sekali, lo selalu ngecek timeline dan liat-liat story atau status orang lain. Atau ketika lo update sesuatu dan mengharapkan orang-orang untuk liat itu, ngelike, komen dan semacamnya. Admit it. I’ve been there. This kind of thing lah yang gue pengen hilangkan

Bagaimana hasilnya? It was working quite well actually, ada banyak hal positif yang setidaknya gue rasain ketika ngelakuin ini. Tapi, selain sisi positif ini, gue juga merasa ada beberapa hal negatif (ini bisa dibilang bukan negatif sih, lebih ke disadvantage) dan pastinya halangan/rintangan yang gue rasakan saat ngelakuin ini.

Positif side effect

Dari segi positifnya, yang jelas gue akhirnya improving my productivity. Gue akhirnya punya waktu yang cukup untuk ngelakuin hal-hal lain yang lebih positif dan bermanfaat. Dan juga hal-hal yang emang gue udah rencanakan dan ingin lakuin.

Contohnya gue akhirnya mulai lagi intens baca buku yang sebelumnya dikalahkan sama timeline. Website gue akhirnya live! Gue baru juga akhirnya sempet dan mulai lagi serius untuk ngerjainnya lagi, yeay. Di segi pekerjaan pun, gue akhirnya udah mulai bisa fokus lagi (walau kadang ya masih buka-buka youtube) hehe

Hal lain yang akhirnya gue rasakan yaitu “It’s ok to don’t know”. Ya, banyak update di socmed yang akhirnya gue gatau, tapi ya itu ga masalah. Justru gue malah berpikir, apa untungnya buat gue? Apa untungnya gue misalnya tau awkarin sekarang udah berbadan dua misalnya, atau drama rando dan anak anak buahnya. Karena jujur itu sama sekali ga berguna buat gue, (bencinya adalah walau gue udah lepas dari update di dunia maya tetep ada aja akhirnya temen gue yang ngasih tau).

Gue juga merasa lega banget lepas dari kolom explore atau drama yang terjadi di timeline twitter. Lepas dari netizen sumbu panas, dan akun-akun yang ga bertanggung jawab. Atau lepas dari perasaan iri melihat teman-teman gue update mereka lagi mesra-mesraan, atau mereka makin sukses. Jujur terasa lega banget. Terdengar ignorance mungkin, but it feels good.

Disadvantages

Di balik semua hal positif itu, gue juga ngerasain disadvantage sih. Lo jadi ga bisa tau kabar circle lo, temen-temen lo. Mungkin mereka udah mau nikah atau dalam keadan kurang baik atau mereka sukses, sehingga akhirnya kita ga bisa kasih support.

Hal lain yang emang gue pribadi alami adalah berkurangnya media gue untuk cari inspirasi karena kadang gue buka twitter/ig bukan untuk ngestalk doang atau ngecek timeline doang atau liat-liat ig story orang (tapi ya emang ini yang porsinya lebih banyak sih), tapi kadang gue pakai social media juga untuk cari inspirasi, update dari dunia pemrograman, front end, cari info-info event dan lainnya. Karena gue follow akun mereka for that purpose. Kadang juga untuk nyari yang lucu-lucu, di twitter baca drama ojol bikin ketawa walau sebenernya receh haha.

Dan ya itulah, kalo berlebihan akhirnya jadi ga baik. But yeah, namanya juga internet, ya pasti ada sisi buruk dan baiknya.

So here is my takeaways.

Jujur level adiksi gue terhadap social media bagi diri gue sendiri udah cukup parah banget. Dan eksperimen ini memang gue lakuin purely to reduce that addiction. Bukan sok-sokan doang. Ya mungkin ga semua orang seperti itu, I mean mungkin ada yg memang intens buka social media juga, update setiap saat, tapi mereka tetep jaga produktivitas mereka. Atau mereka memang senang update karena tujuannya baik, bukan karena riya atau pamer (Sarcasme intended). I salute them.

Lumayan berat ketika ngelakuin ini, bahkan dari hari pertama kebiasaan buka ig tiap pagi masih ada. Masih ada perasaan gatal untuk buka-buka socmed, ngeliat post orang-orang atau buat story, atau share postingan sesuatu di minggu awal. Untungnya gue udah matiin semua notif, logout semua akun, dan memprotect aplikasinya. Yang akhirnya bikin gue jadi keburu males buka aplikasinya.

Tapi overtime akhirnya gue mulai terbiasa dengan itu. Bahkan kalo gue boleh jujur sekarang pas selesai ngelakuin selama sebulan, nafsu gue untuk buka socmed itu ya berkurang, ga separah dan se-intens sebelumnya. DAN yang gue kesalkan adalah, how this social media company wants me to comeback so badly. Facebook/Twitter selalu ngirimin gue email setiap minggu tentang apa yang gue lewatkan. Sometimes that’s not even relevant to me. Like, si A upload a picture, si B baru posting lagi setelah beberapa waktu. Like, who cares? Instagram pun sama aja, bahkan dengan ngirimin gue dalam bentuk SMS. Seriously, literally.

So anyway, inilah beberapa key point yang gue dapat setelah ngelakuin ini:

Use social media secukupnya

Semana takarannya? Depens on you. Buat gue waktu malam hari mungkin 1 jam setelah pulang kerja udah cukup untuk catching up kabar the whole day? Lagipula, what’s the point to know everything, every post from other people in like every hour or so?

Followers, likes, views are just number

There was a time when I was so attached to all of this number. Berlomba mencari like, nambah followers. Buat story berharap si A ngeliat story kita. Gue yakin lo pun pernah gitu. Perasaan ingin eksis ini yang perlu di kurangin.

It’s ok to don’t know.

Seperti yang gue bilang tadi, apa gunanya bagi kita untuk tau semua kabar terbaru dari semua orang? That’s why balik ke poin 1, gunain secukupnya. Update dengan dunia luar, circle kita pun ya secukupnya dan seperlunya aja.

We are jerk sometimes.

Yes I mean it. We, the so called netizen atau warganet or whatever you called it itu bagai dewa yang ga pernah salah. Admit it, gue yakin kalian suka ngelakuin ini. Ngeliat anya geraldine beliin mobil buat cowoknya, kalian langsung komentar: “gila nih cewek, udah diapain sampe beliin mobil”, “paling nyicil belinya” atau menghujat orang cuma dari postingannya. Karena jujur gue juga pernah kaya gitu.

Dan itu useless. Kita tuh siapa?! Kenal juga nggak. Social anxiety yang kaya gini yang bikin social media itu udah ga sehat, bukan cuma untuk dunia itu sendiri, tapi juga buat kita sendiri. Sekarang bahkan gue lebih sering ketika liat post apapun itu, lebih sering liat ke kolom komentarnya. And it’s super toxic. Balik lagi ke poin gue yang ke 3, lebih baik gatau daripada harus koar-koar ga jelas.

Poin terakhir Pada dasarnya, kita ini kepo. Ya kurang-kurangin deh keponya.

Itu beberapa poin dari gue setelah melakukan ini. I have to say it’s worth it. Gue ga bilang semua orang juga harus ngelakuin ini, tapi it does help me, untuk seengaknya lebih produktif dan mengurangi anxiety dan adiksi gue terhadap social media.

Akhir kata gue akan apply beberapa poin yang gue dapat dari eksperimen ini, gue akan tetap membuka social media setelah ini tapi dengan poin yang udah gue tuliskan di atas. That’s a commitment! Mungkin gue juga bisa ikutin ide dari beberapa orang yang juga melakukan ini dan merubah intensitasnya jadi buka hanya di weekend aja? I could try.

As I said before, social media is a double-edged sword, whether you wanted to choose to keep it clean inside your pocket or you wanted to show the world how great your sword is by showcasing the blood of the dragon that you’ve slain, is on you. So choose wisely.


Apasih sem...