Acara TV dan Penonton Indonesia Alay? Tidak Mendidik?

Dedi Corbuzier belum lama ini mengeluarkan video tentang acara TV Indonesia dan artis-artis Indonesia yang ia sebut alay, penontonnya juga alay. Lalu di video selanjutnya, di depan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), juga dia mengkritik bilang kebanyakan acara tv nasional tidak mendidik. Apa iya?

Ok, so here’s my thought.

Gue gatau darimana datangnya kata alay ini, entah siapa yang memulai awalnya, gimana ceritanya bisa lahir kata ini, ga ngerti deh. Apa sih alay? Alay itu kata slang dan singkatan dari ‘anak layangan’ yang arti kasarnya itu kampungan (kata internet sih begitu).

Lalu, apa yang membuat seseorang atau sesuatu bisa di sebut sebagai alay? Kalo zaman dulu, awal-awal istilah ini muncul ini sebenernya gue taunya ya cuma bahasa aja. Sekarang, sampai ke perilaku pun bisa di bilang alay. Penampilannya, cara berbicara, perilakunya yang semuanya berlebihan, dan terkesan ya… kampungan.

Jika sekarang ini di kaitkan dengan acara TV, yang disebut-sebut sebagai acara TV itu alay adalah acara yang hanya menampilkan aib, atau melakukan bercandaan fisik maupun verbal seperti yang kalian lihat di banyak acara saat ini, acara dimana pemainnya joget-joget, ya semacam itulah.

Pertama kalo di bilang acara TV sekarang ini alay, gue setuju banget banget. Menurut gue acara-acara tv saat ini bukan lagi tontonan (yang mereka sebut sebagai sebuah hiburan) sudah tidak lagi menjadi hiburan bagi gue (tidak semua). Tapi sebenarnya begini, kalo dibilang acara TV sekarang ini yang ya menampilkan candaan dengan ngata-ngatain orang, atau membuka aib atau bahkan main fisik (keplak kepala, memukul walaupun dengan sterefoam dan sebagainya), menampilkan keseksian tubuh wanita, dan lain-lain, di bilang alay, nah sebenarnya kalo kita ingat root acara komedi kita dari zaman dulu pun sebenarnya seperti itu bukannya, bukankah begitu?

Coba lihat dari zaman Srimulat, lenong kalo di ingat2, sebenernya mereka juga sudah menampilkan hal-hal yang seperti mereka lakuin sekarang. Jadi, it’s nothing new, right?. Terus mereka juga alay dong? Acara TV kita udah alay dari zaman dulu berarti?
Menurut gue, nggak. Bisa dibilang kasusnya beda, gue melihatnya Srimulat dan lain-lainnya di zaman dulu, tidak melalukannya secara berlebihan, itu yang pertama gue lihat.

Dan yang kedua, Srimulat dan komedi semacamnya dulu itu bisa di golongkan sebagai acara tv dewasa atau yang target penontonnya diatas 18 tahun ke atas, dan tv nasional pun hanya menayangkannya setelah jam 11 malam atau jam 12 malam. Jadi, aksesnya nggak untuk semua orang. Sekarang? Acara-acara ini semuanya bisa nonton dengan mudah, bahkan sekeluarga kumpul bareng menikmati tontonan ini.

Padahal kalo melihat 4-5 tahun sebelum ini sebenarnya acara-acara hiburan masih bisa gue bilang tergolong bagus, Extravaganza, Akhirnya Datang Juga, Bajaj Bajuri, Suami Takut Istri, dan sederet lainnya, itu masih berkualitas. Hiburan yang seengaknya masih berbobot, masih ada pesan moralnya, dan tidak mengandalkan becandaan-becandaan yang seperti sekarang ini. Yang salah dari acara saat ini adalah, ga ada pesan moralnya (kecuali kalo ini acaranya untuk sahur dan berbuka puasa, yang mereka taruh ustadz disana setelah mereka bercanda-candaan).

Gue bingung dengan bagaimana acara-acara seperti joget-joget, acara keluarga yang bener-bener memperlihatkan keseharian suatu keluarga artis bisa jadi sesuatu hiburan? Kalian ingat nikahannya Raffi & Nagita? Atau yang baru-baru ini Vicky & Angel Lelga? Kenapa orang terhibur dengan itu? Kenapa orang sangat menyukai tontonan semacam ini?

Nah, ya semua yang tadi gue bilang itu akhirnya menuju kepada kebanyakan penonton Indonesia, yang memang menyukai tontonan semacam itu. Ya ga sih? Acara-acara kaya gini tetap laku ya karena demandnya pun terus ada. They do it for the rating. Yang kalo memang benar karena rating, ini sih menyedihkan. Gue gatau gimana rating ini bekerja seperti apa, jelas ada yang salah dari sistem ini, seperti gimana Pandji omongin ini di standupnya Juru Bicara.

This leads to my conclusion that, siapa yang bilang kebanyakan penonton kita itu menginginkan tontonan mendidik? No they don’t, they want to be entertain. That’s it. Ya orang Indonesia itu butuh hiburan dan gampang banget terhibur. Mungkin gatau ya, apakah karena tingkat stress hidup, terutama di Jakarta yang tinggi yang membuat orang akhirnya butuh banget hiburan sehingga ya jadinya itu yang jadi penghilang stress mereka. Dan itulah kenapa artis-artis nyentrik dan yang bisa dibilang berperilaku alay, ngondek dan sebagai macamnya mudah sekali laku, karena orang kita mudah sekali terhibur. Dan ini ga terjadi pada acara TV aja, konten internet pun kaya gitu ko (Tapi gue ga akan bahas part internet ini, fokus ke acara TV aja).

Gue ga bilang, it’s bad, in a way. Karena gue bilang tadi, they want it to be entertain, karena itulah mereka tonton itu. Yang salah adalah ketika sudah keseringan, terpapar akhirnya menjadi normal dan lumrah bagi mereka, lebih salah lagi sampai akhirnya banyak orang yang menjadikan tontonan-tontonan ini menjadi contoh terutama ya untuk anak-anak.

Dan inilah yang terjadi, dengan mudahnya terutama anak-anak mengikuti tontonan-tontonan semacam ini. Berkata kasar, ngatain orang berdasarkan fisik, bahkan ngondek dan peluk-pelukan pun ini terjadi, anak-anak bisa mengikuti. Tontonan anak-anak sekarang ini? Malah berkurang, masih adakah di hari minggu pagi anak-anak pagi-pagi nonton PMAN, Doraemon, Blues Clues, Conan, Digimon, Shincan(Ok, shincan ini juga ga baik, tapi tetep lebih menghibur), dan sederet kartun lain? Nggak ada. Mereka nontonnya dahsyat, inbox 😃) Kalian tau apa yang lebih lucu lagi dari TV Indonesia? Bahkan film kartun aja sampai di sensor lho, me was like… ini apakah yang nyensor birahinya naik melihat shizuka yang tepos?

Jadi solusinya apa dong? Buat gue ada beberapa solusi yang bisa dilakuin salah satunya ya ubah mindset, ubah pola pikir. Kita bisa memilah acara yang seharusnya kita tonton. Dan kalaupun kita memang menonton, kita seharusnya bisa memilah mana tontonan yang memang purely untuk hiburan, mana tuntunan, seperti yang dibilang mas Dedi. Ini dari individu, kalo kalian adalah keluarga kontrol lah tontonan untuk anak-anak Anda.

Dari pemerintah sendiri harusnya KPI pun bisa tegas mengatur acara-acara ini pastinya jangan baru kejadian baru bertindak. Dan untuk stasiun TV dan artis-artisnya yang seperti itu… bertobatlah.

Ohya untuk masalah penonton bayaran, gue lihat kemarin ada sindiran juga untuk penonton bayaran yang kemudian di anggap alay, opini gue sih gak semua dari mereka itu alay, kita gabisa mengeneralisasi karena kita kan gatau alasannya apa, dan most of time apalagi kalau kalian lihat banyak mahasiswa yang datang ke acara TV, meraka melakukannya biasanya itu untuk kepentingan bersama ko, jadi kita gabisa sepenuhnya menghakimi. Lagipula halal juga ko, ya kan? Beside, apa alay-alay ini merugikan orang lain? (Iya sih, merugikan integritas anak muda bangsa sih sebenarnya, tapi ya yaudahlah biarkan mereka, asal jangan biarkan menjamur aja).

Akhir kata ini opini gue ditujukan bukan untuk semua penonton karena gue yakin ga semua seperti itu, tapi kenyataan pahitnya gue tau bahwa mayoritas penonton Indonesia lebih condong menyukai acara-acara seperti ini. So intinya, gue pikir ga salah juga untuk menonton acara-acara ini, dengan tujuan yang memang untuk hiburan, dan kadarnya pun jangan melebihi batas, dan yang terakhir adalah jangan men-justify apa yang artis-artis ini lakukan kalo mereka memang melakukan hal yang salah, ini sering banget terjadi.

Semua orang punya preferensinya masing-masing terhadap acara yang mereka sukai, so pintar-pintar lah untuk memilah mana yang memang hiburan yang baik dan mana yang bukan hiburan sama sekali-kali. Kalo nggak yaudahlah beralihlah aja ke Youtube. Youtube youtube lebih dari TV.

Eh, nggak deh, Youtube juga sama aja kalo mindset kita tidak diubah. Hanya mindahin medium dari TV ke Youtube. 😃

Sekian dan terima kasih untuk para pembaca.
HRA

Punya opini lain? Silahkan komentar dibawah.